Hukum
Urunan Hewan Qurban Satu Sekolahan
Sudah menjadi kebiasaan yang terbentuk menjadi satu
tradisi di lembaga-lembaga pendidikan ataupun sekolah-sekolah di Indonesia,
pada saat Lebaran Haji atau Lebaran Qurban atau Iedul Adha tiba sebagian
pengelola sekolah menggalakkan latihan qurban bagi siswa sekolah
setempat. Demi terwujudnya kegiatan latihan qurban tersebut maka pihak sekolah
membebani setiap siswa-siswanya untuk iuran atau urunan
sejumlah uang tertentu. Kemudian uang hasil urunan tersebut digunakan untuk
membeli kambing ataupun sapi qurban dan kemudian nanti akan dipotong atau disembelih pada saat waktu
Idul Adha tiba. Hal ini yang jadi pertanyaan besar. Apakah kegiatan
urunan qurban untuk dijadikan sebagai sarana latihan qurban diatas bisa dinilai
sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa
qurban adalah salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki aturan tertentu
sebagaimana yang digariskan oleh syari’at Islam. Jika keluar dari aturan yang
telah diatur dalam syariat Islam maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban
alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan hewan qurban. Biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu
orang. Walaupun harga hewan qurban dirasa tinggi pada saat itu. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’
seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban. Berbeda halnya dengan
ikut berqurban dengan cara program arisan qurban kambing. Bahkan Islam memberi kemudahan dengan membolehkan berqurban satu ekor kambing untuk satu keluarga. Sedangkan ketentuan qurban sapi juga telah jelas diatur dalam syariat Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (Qs.
Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama
ahli tafsir mengatakan;
yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat
Ied.” Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul
‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih
Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban
biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan
huruf ha’ tipis).
Pengertian
Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha
dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya
hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan
Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih
yang paling utama. ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada
hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan
darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR.
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam,
IV/450)
Hadis di atas didla’ifkan oleh Syaikh Al
Albani (Dla’if
Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah
menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa
menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah
yang senilai atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari
pada sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud
terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan
semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul
Mumthi’ 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua
pendapat:
Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah
Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik,
Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini
berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu
‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang
yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau tetanggaku mengira
qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi
dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat
Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR.
Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada
riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.”
(lihat Al
Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368,
dan Taudhihul
Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan
masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing
pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan
dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan
berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan
tanggungan, wallahu
a’lam. (Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120).
Yakinlah…! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan
yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al
An’aam (hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang
artinya, “Dan
bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama
Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul an’aam).” (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab,
yang dimaksud Bahiimatul Al An’aam hanya mencakup tiga binatang
yaitu onta, sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga
hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan
adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan
tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang
berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak
tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban
seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300
real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’ III/409)
Seekor
Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu
keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya
banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang
mengatakan, “Pada
masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih
seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR.
Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang
mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya
qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya
untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah
sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya.
Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih
beliau mengatakan: “Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak
berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali
bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala
sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya
boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah
biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya
pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya
boleh dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu
shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan
dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah
hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada
pemilik hewan? Jawab:
Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak
dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan
Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta
untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami
penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah
hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor
onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan
Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban
sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban
seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan
Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan
berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama
menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam
Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula
Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak
memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn
Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al
Faqih (lih. Fatwa
Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: “Jika
orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada
berqurban.” (Syarhul Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah
ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan
kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di
hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir
maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit
hutang tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn
Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas
tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan
dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan
untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam
melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan
anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban
terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau orang yang memiliki
hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan
qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang
yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang
baik. Wallahu
a’lam.
Hukum
Qurban Kerbau
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan
keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada
beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari
kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah
(lih. Al
‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106).
Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang
hukum qurban dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Isi Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
“Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa
pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau
hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di
daerah kita, ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan
latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang
tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari
qurban.
Apakah ini bisa dinilai
sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah
satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang
digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai
sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut
adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya
pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh
karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai
qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah
Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
§ Orang yang meninggal bukan sebagai
sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih
hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada
di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan
pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah
meninggal.
§ Berqurban khusus untuk orang yang telah
meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali
menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada
mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis
Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’
bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat
tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat
bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau
lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi r tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah.
§ Berqurban khusus untuk orang yang
meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk
dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan
jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang
diambil dari Risalah
Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Umur
Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba
jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah
dewasa, diambil dari kata sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut
dinamakan musinnah karena
hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow’el). Adapun rincian usia
hewan musinnah adalah:
No.
|
Hewan
|
Usia
minimal
|
1.
|
Onta
|
5 tahun
|
2.
|
Sapi
|
2 tahun
|
3.
|
Kambing jawa
|
1 tahun
|
4.
|
Domba
|
6 bulan (domba Jadza’ah)
|
(lihat Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul
Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya
ataukah ganti giginya?
Yang menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah dan hewan jadza’ah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a’lam.
Berkurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:
Yang menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah dan hewan jadza’ah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a’lam.
Berkurban dengan domba jadza’ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza’ah
dengan syarat kesulitan
untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Umar dan Az
Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza’ah (usia
6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban
dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama.
Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana
dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang
lebih kuat. Karena pada hadis Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya
berqurban dengan domba jadza’ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan
jadza’ah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di
atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu a’lam. (Syarh Shahih
Muslim An Nawawi 6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali
kebutaannya
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi
jika sakitnya belum jelas, misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat
maka boleh diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya
sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk
berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya
terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan
qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan:
“Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya:
“Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya mendengar Allah
berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh
kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36).
(lih. Tafsir
Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab:
“Ada empat cacat…dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300
& Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama
menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya
ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang.
Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh
digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan
larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau
tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama menggolongkan
cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Ini Naskah Lailatul Ijtima MWC NU Kec. Binangun
Hari :
Senin Malam Selasa Kliwon
Tanggal :
28 Dzulqo’dah 1435 H bertepatan dengan 22 September 2014 M
Tempat :
Di Masjid Jami’ Al Kholodiyyah Widarapayung Wetan
(KH. Muh. Mahfudh)
LAILATUL IJTIMA’
|
NAHDLATUL ULAMA
|
MWC
NU BINANGUN
SENIN
MALAM SELASA KLIWON
TGL
28
DZULQO’DAH 1435 H / 22 SEPTEMBER 2014 M
DI
MASJID JAMI’ AL KHOLIDIYYAH
WIDARAPAYUNG
WETAN - BINANGUN
“MABADY
KHOMSAH”
1.
ISLAM AGAMA
RAHMATAN LIL ‘ALAMIN
2.
KERUKUNAN MUTLAK
DIPENTINGKAN
3.
HUKUM
– HUKUM HARUS JELAS
DASARNYA
4.
HUKUM UNTUK
DIAMALKAN
5.
HUKUM BUKAN
UNTUK DIPERDEBATKAN