GAMBAR KITAB ALFIYYAH |
Syekh Ibnu Maalik nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu
Abdillah ibnu Malik al-Thay, lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota
kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk
negeri ini sangat cinta kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh
pendidikan, bahkan berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah.
Pada masa kecil, Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar
pada Syaikh Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah
haji,dan diteruskan menempuh ilmu di Damaskus. Di sana ia belajar ilmu
dari beberapa ulama setempat, antara lain Al-Sakhawi (w.643 H). Dari
sana berangkat lagi ke Aleppo, dan belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy
al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh
para ilmuan, karena cerdas dan pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang menggambarkan teori-teori mazhab
Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu.
Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti oleh murid-muridnya, seperti
imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan
Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar
kelahiran Eropa ini, senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks
Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau
tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan
Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini
dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair
puitis) atau berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini
lebih baik dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun semua tulisannya, ternyata tulisan
itu lebih banyak berbentuk nazham. Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam
kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara karangannya adalah Nazhom
al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Kitab ini menyajikan
semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan
komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait,
yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik.
Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip
inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan)
karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari
delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait seperti Bab al-Ikhtishash dan bab
yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir karena diisi empat puluh dua bait.
Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai Bahar Rojaz ini disusun
dengan maksud (1) menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan shorof yang
dianggap penting. (2) menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang
singkat , tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau
dengan sebuah contoh yang bisa menggambarkan satu persyaratan yang
diperlukan oleh kaidah itu.(3) membangkitkan perasaan senang bagi orang
yang ingin mempelajari isinya. Semua itu terbukti, sehingga kitab ini
lebih baik dari pada Kitab Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu,
penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka
kreativitas dan lebih senior. Dalam Islam, semua junior harus menghargai
seniornya, paling tidak karena dia lebih sepuh, dan menampilkan
kreativitas.
MZ EDIE |
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia
ini, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat
kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn Malik menjadi popular, dan
pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang
mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang cendekiawan besar ketika
menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib, banyaklah mengutip dan
mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, perkembangan nahwu
setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah di Baghdad, dan
merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka para pelajar
pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum kerajaan besar di
Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak banyak diminati
oleh masyarakat.
Tetapi setelah lama, pelajaran ini menjadi kebutuhan dan dinamislah
gerakan karang-mengarang kitab tentang ilmu yang menarik bagi kaum
santri ini. Di sana beredarlah banyak karangan yang beda-beda, dari
karangan yang paling singkat sampai karangan yang terurai lebar. Maksud
penulisnya ingin menyebarkan ilmu ini, kepada masyarakat, dan dapat
diambil manfaat oleh kaum pelajar. Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn
Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi. Karangan mereka tentang kitab-kitab
nahwu banyak menampilkan metoda baru dan banyak menyajikan trobosan
baru, yang memperkaya khazanah keilmuan. Mereka tetap menampilkan
khazanah keilmuan baru, meskipun banyak pula teori-teori lama yang masih
dipakai. Dengan kata lain, mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas
yang baru, seolah-olah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam
Sibawaih (Penggagas munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu,
Alfiyah Ibn Malik adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama
lain dengan menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir)
terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama penulis Syarah Alfiyah berjumlah
lebih dari empat puluh orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang
lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama
yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa
kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir
(hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah. Syarah Alfiyah yang ditulis
pertama adalah buah pena putera Ibn Malik sendiri, Muhammad Badruddin
(w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang
diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq,
tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu aneh tapi putera ini
yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu,
Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari
ayat al-Qur’an.
Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir semua ilmuan tahu bahwa tidak
semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang
sudah dianggap baku oleh ulama. Kritikus yang pada masa mudanya
bertempat di Ba’labak ini, sangat rasional dan cukup beralasan, hanya
saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz Karena itu,
penulis-penulis Syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Ibn
Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra
Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik,
sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti
karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy (w.855 H), Zakaria al-Anshariy
(w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan
Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis Syarah Alfiyah lainnya, yang bisa
ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibnu Hisyam, Ibnu Aqil,
dan Al-Asymuni.
Al-Muradi
(w. 749 H) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan
Nazham Alfiyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak
popular di Indonseia, tetapi pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh
ulama lain. Antara lain Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar
ketika menulis syarah Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu
sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah
Alfiyah dan Ibn Hisyam ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip
pemikiran al-Muradi yang muridnya Abu Hayyan itu.
K. MUH BURHANUDDIEN |
Ibnu Hisyam
(w.761 H) adalah ahli nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi
oleh ulama berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama
Audlah al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini
ia banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah
disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak
menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti
kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh
Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan
semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang
menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn
Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy,
Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang
menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang
disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Ibnu Aqil (w.
769 H) adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai
penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal
adalah Syarah Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna
oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia
mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga
terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis
berpendapat, bahwa kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak
beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri
di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah
al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni
(w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan informasi, dan sumber kutipannya
sangat bervariasi. Syarah ini dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang
paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat mazhab dengan
argumentasinya masing-masing. Dalam syarah ini, pendapat para penulis
Syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisa. Antara lain
mengulas pendapat Putra Ibn Malik, Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan
Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula komentar Ibn Malik sendiri yang
dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah , tetapi tidak dicantumkan dalam
Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat
dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menyelusuri
suatu pendapat dari sumber aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain : Hasyiyah Hasan
ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn Umar al-Asqathi, Hasyiyah
al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam muqaddimah hasyiyah yang
disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan ulasan, bahwa metodanya
didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a) Karangannya akan merangkum semua
pendapat ulama nahwu yang mendahului penulis, yang terurai dalam
kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b) Karangannya akan mengulas beberapa
masalah yang sering menimbulkan salah faham bagi pembaca. (c) Menyajikan
komentar baru yang belum ditampilkan oleh penulis hasyiyah sebelumnya.
Dengan demikian, kitab ini bisa dinilai sebagai pelengkap catatan bagi
orang yang ingin mempelajari teori-teori ilmu nahwu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar